NAGOYA – Suara tubuh-tubuh raksasa bertabrakan satu sama lain terdengar di sasana latihan sumo di kota Nagoya, Jepang, saat 11 pegulat yang hanya mengenakan kain cawat bergiliran berusaha menjatuhkan lawannya di arena berpasir.
Pegulat sumo atau rikishi di sasana Tomozuna menghabiskan waktu lebih dari tiga jam setiap pagi untuk berlatih seni olahraga Jepang yang sudah ada sejak 15 abad lalu itu. Meski aturannya sederhana –pemenang adalah yang berhasil menjatuhkan lawan atau mendorong keluar dari arena—namun latihan yang dilakukan sungguh serius.
Karenanya dalam sumo, pegulat biasanya memiliki tubuh besar namun kuat. Mereka juga makan sangat banyak dibanding orang lainnya, dan menjalani rutinitas ketat untuk menjaga kemampuan bertanding.
Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari sempat diintip oleh wartawan yang mengunjungi kuil Buddha di Nagoya yang dijadikan sasana latihan sumo sementara untuk menghadapi Nagoya Grand Sumo Tournament bulan Juli 2017 ini.
Dalam pandangan mata, dunia sumo kental dengan tradisi Jepang. Para pegulat, dari manapun asalnya, akan makan, berpakaian, menjalani aktivitas, dan bernafas seperti ksatria Jepang yang memegang teguh aturan.
Namun beratnya latihan dan ketatnya tradisi di lingkungan sumo membuat banyak pemuda Jepang tidak lagi tertarik menggelutinya. Bahkan nama-nama besar dunia ini mulai dipegang orang dari luar Jepang, kebanyakan dari Mongolia, yang berusaha keras menjadi Jepang.
“Bahasa menjadi masalah utama bagi pendatang,” ujar Tomozuna Oyakata, yang dikenal dengan julukan Kyokutenho di arena. Ia adalah pegulat pertama asal Mongolia yang memenangkan pertandingan sumo di Jepang.
“Saya tidak memahami satu katapun saat pertama kali datang, bahkan tidak tahu apakah sedang dimarahi atau dipuji,” ujar satu dari enam orang Mongolia yang pertama kali berlatih sumo di tahun 1992.
Kini, juara yang dahulu bernama Nyamjavyn Tsevegnyam itu sudah bisa berbicara bahasa Jepang dengan lancar. Ia juga menikahi perempuan Jepang, dan meninggalkan kewarganegaraan aslinya untuk menjadi orang Jepang –sebuah syarat untuk meraih gelar master sumo atau “oyakata.”
8.000 kalori sehari
Makanan itu dipersiapkan oleh pegulat yang lebih junior, bisa berupa daging, ikan yang dipanggang, nasi, dan chanko nabe, yang merupakan masakan berkuah khas pegulat sumo. Dalam sehari, para pesumo itu diperkirakan melahap makanan sekitar 8000 kalori. Sebagai perbandingan, sepiring nasi goreng kira-kira berisi 700 hingga 1000 kalori.
Setelah makan, para pegulat akan tidur siang, lalu berlatih dan makan lagi. Mereka menjalani kehidupan itu setiap hari dengan disiplin, apalagi menjelang pertandingan. Tidak ada hura-hura dan pesta-pesta, apalagi hiburan malam.
Bagi pemuda asli Jepang yang memiliki standar kenikmatan hidup tinggi, kebiasaan itu barangkali cukup berat. Sedangkan bagi orang-orang luar, seperti dari Mongolia yang biasa hidup di alam pasang rumput yang keras, ini pilihan yang jauh lebih nyaman. Maka mereka menjalaninya lebih mudah.
“Kami menguncir rambut, menggunakan kimono dan sandal, menaati hukum Jepang, dan menjunjung tinggi tradisi sumo,” kata Tomozuna Oyakata seperti dikutip Reuters. “Kami sudah menjadi orang Jepang, hanya saja dahulu lahir di negara yang berbeda.”
Baca Kelanjutan Mengintip Gaya Hidup Pegulat Sumo - Kompas.com - KOMPAS.com : http://ift.tt/2vtICZE
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mengintip Gaya Hidup Pegulat Sumo - Kompas.com - KOMPAS.com"
Post a Comment